Teori Ilmu Pengetahuan
Dalam teori yang dikemukakannya, Kant mengarahkan kita kepada suatu pemikiran bahwa ilmu pengetahuan akan dibentuk melalui pengalaman, namun tidak semua pengetahuan itu muncul dari pengalaman. Misalnya saja dalam pengetahuan akan Allah. manusia tidak mengalami bentuk pengalaman hidup bersama tinggal serumah atau sekamar dengan Allah. Hal ini merupakan suatu pengetahuan yang muncul akibat kepercayaan dan pengaruh dari lingkungan. Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru.
Kant juga mengeluarkan pemikiran bahwa pernyataan universal yang kita keluarkan dan kita tahu betul bahwa hal itu benar, maka itu tidak didasarkan atas pengalaman. Misalnya saja mengenai penemuan bahwa bumi itu bulat. Sebenarnya sejak penciptaan, bumi sudah bulat, namun setelah ada manusia yang mengalami bahwa bumi itu bulat, barulah muncul pengetahuan bahwa bumi itu bulat. Hal itu berarti bahwa pengetahuan manusia bukanlah penentu dari segala sesuatunya.
Selain itu, pemikiran yang dikemukakan oleh Kant selanjutnya ialah bahwa sains dan agama tidak boleh diukur dengan filsafat (Tafsir, 1999). Kedua hal tersebut merupakan hal yang berbeda dan tidak boleh untuk digabungkan. Apabila kedua hal tersebut digabungkan, maka ukuran kebenaran itu akan menjadi relatif dan itu berarti tidak ada suatu tolok ukur yang jelas mengenai sains dan agama. Oleh karena itulah agama harus diukur berdasarkan agama juga, bukan berdasarkan filsafat. Demikian pula halnya dengan sains. Baik agama maupun sains haruslah memiliki tolok ukur masing-masing agar tidak terjadi banyak kekacauan.
Kant juga memiliki pandangan bahwa objek-objek yang ada di dalam dunia inilah yang akan menyesuaikan dirinya dengan pemikiran manusia. Pemikiran Kant mengenai hal ini berangkat dari suatu pemahaman dirinya akan hakikat dari realitas atau yang biasa disebut dengan neumena, yaitu segala sesuatu tidak dapat diketahui hakikatnya, yang dapat diidentifikasi ialah gejalanya. Maksudnya ialah seberapa mampu suatu objek bisa saya lihat, maka apa yang saya lihat itu akan masuk ke dalam akal budi dan menjadi pengetahuan. Inilah yang disebut-sebut sebagai suatu “revolusi cara berpikir” dan dikenal menjadi filsafat “transendental”. Selain untuk mengkaji objek dunia eksternal, filsafat yang dikemukakan oleh Kant ini memiliki tujuan untuk mengungkapkan prinsip-prinsip a-priori sebagai hal yang fundamental dari epistemologi. Baginya, sains dan akal tak bisa menembus noumena, yaitu suatu tempat yang memiliki objek- objek keyakinan, Menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahiriah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Kant merupakan tokoh penentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme merupakan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Pada pemikiran Kant, metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi menyibak dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendaklah pertama-tama menyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Menurut Kan, dalam diri manusia ada tempat yang berperan penting dalam menghasilkan pengetahuan yaitu Sensibilitas, yang berperan dalam meneriman berbagai kesan Indrawi yang tertata di dalam ruang dan waktu dengan pengertian yang memiliki bagian (katagori) untuk mengatur dan menyatukan kesan- kesan yang ditangkap Indrawi manusia. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat a-priori, dan bukan pengalaman indra (Djafri, 2010). Kedua paham ini ditentang oleh Kant karena menurut pendapatnya mengenai kehidupan manusia, moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Perlu ada pertimbangan yang seharusnya lebih mudah diterima oleh logika atau akal pemikiran manusia.
Walaupun terdapat pertentangan dari dalam dirinya mengenai empirisme dan rasionalisme, Kant tetap berusaha untuk mensinergikan kedua hal tersebut. Ia menggabungkan ide yang ada dalam paham-paham tersebut menjadi sebuah pemikiran yang bermanfaat. Ia menggabungkan prinsip mengenai sumber dari munculnya ilmu pengetahuan ialah karena adanya pengalaman inderawi dari paham empirisme dengan suatu pemikiran bahwa pengetahuan itu muncul sebelum adanya pengalaman sebelumnya, misalnya saja dengan insting mengenai bahaya.
Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu, tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan pada sebuah pengadilan. Pada pemikiran Kant, metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi menyinggung dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada. Metafisika hendaklah pertama-tama menyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Munculnya pemikiran Kant ini, telah merubah banyak dari metafisika yang sebelumnya sudah ada.
Bermodalkan kritisismenya, Kant membangun metafisika yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah. Ia menjadikan strukturpola pikir manusia sebagai titik tolaknya. Dalam metafisika, Kant setidaknya mencerminkan dua masalah pokok, pertama tentang hakikat Tuhan dan kedua persoalan cara pembuktian adanya Tuhan yang berarti bahwa hakikat Tuhan adalah Ideal Transendental, sedang cara pembuktian adanya Tuhan, adalah melalui dua argumen, yaitu argumen pemikiran dan argumen moral. Argumen pemikiran memungkinkan dan membenarkan lahirnya pengetahuan dan argumen moral memungkinkan dan membenarkan lahirnya perbuatan susila. Namun pada umumnya argumen terakhirlah yang diidentifikasikan kapada Kant.
Kant memberikan suatu konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system) manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant, empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri.
Pada pelaksanaanya sangatlah sulit dalam memahami apa yang telah dikemukakan oleh Immanuel Kant. Pengaruh secara langsung dari Kant dalam ilmu pendidikan pun tidaklah sedikit. Misalnya saja, sebagai seorang guru, nantinya diperlukan suatu pemikiran yang terbuka mengenai siswa yang memiliki pemikiran yang berasal dari berbagai macam sumber atau hanya dari perkiraan yang ia miliki. Pengetahuan awal sebelum pembelajaran dimulai di dalam kelas pun menjadi suatu pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan.
Referensi
Aprillins.com. (2009). Tiga Pokok Pemikiran. Retrieved November 26, 2010 from http://aprillins.com/2009/1041/tiga-pokok-pemikiran-immanuel-kant/
Djafri, N. (2010). Immanuel Kant. Retrieved November 25, 2010) from http://noviantydjafri.wordpress.com/2010/08/20/immanuel-kant-2/
Frame, J. M. (2008). The Doctrine of The Christian Life. New Jersey: P&R Publishing Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar