Senin, 22 November 2010

Ethics


KONSEP IMMANUEL KANT TENTANG ETIKA

Immanuel Kant memiliki konsep etika yang bisa dimasukkan ke dalam ranah deontologi. Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain kewajiban. Kita bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik (Bertens, 1993). Contohnya adalah kepandaian, kekayaan, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, tidak akan menjadi baik jika tidak digunakan dengan kehendak yang baik dari manusia. Jika seseorang memiliki kehendak untuk menggunakan kekayaan dan kepandaian sebagai alat dalam memanfaatkan orang lain demi keuntungannya sendiri, hal-hal tersebut tentu saja akan menjadi sesuatu yang sangat buruk.
Pertanyaan pertama yang timbul sekarang adalah: “Apa yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban (Bertens, 1993, hal. 255). Namun jika kita kembali meninjau akan hal ini, adakah hanya kewajiban semata-mata yang pada dasarnya membuat kehendak menjadi baik? Banyak orang yang berbuat kebaikan karena memang memiliki sifat yang baik hati. Dengan demikian, menurut Kant kebaikan dari orang tersebut tidak bisa disebut baik. Kemudian ada lagi tipe orang yang berbuat baik karena rasa belas kasihan. Kita bisa ambil contoh dari seseorang yang merasa kasihan dan memberikan uang kepada seorang anak kecil yang harus mengamen demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Perbuatan yang demikian pun menurut Kant tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang baik.
Kant membuat suatu perbedaan antara apa yang dia sebut imperatif hipotetis dan kategoris (Brown, 2005). Secara sederhana, menurut Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika (1993, hal.256), kewajiban moral mengandung suatu perintah imperatif kategoris, artinya, imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Contohnya untuk imperatif hipotetis: jika kita ingin menikah maka kita harus pemberkatan nikah terlebih dahulu. Pemberkatan nikah hanya menjadi kewajiban saat kita ingin mencapai tujuan kita yaitu menikah. Namun jika kita tidak menghendaki tujuan tersebut, maka kita juga tidak perlu melaksanakan syarat untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan imperatif kategoris, yang tidak menghendaki adanya syarat, akan berarti bahwa kita harus melakukan hal tersebut karena merupakan sebuah kewajiban saja, tidak lebih dan tidak kurang. Misalnya jika ada ada seorang penagih hutang datang ke rumah dan mencari orangtua kita. Kemudian karena tidak memiliki uang, orangtua menyuruh kita mengatakan kepada penagih hutang tersebut bahwa orangtua sedang tidak di rumah kita. Menurut Kant, kita tetap harus mengatakan bahwa orangtua memang ada di rumah karena merupakan kewajiban bagi kita untuk mengatakan hal yang sebenarnya dengan konsekuensi apapun. Itulah yang dimaksud dengan imperatif kategoris.
Menurut Brown (2005), imperatif juga menimbulkan pertanyaan, otoritas macam apa yang ada di atas dan melampaui saya dan yang menuntut saya agar bertindak seperti ini? Dengan kata lain kita berhadapan dengan yang transenden. Dalam materi kuliah Theological Philosophy dengan dosen Ferry Yang, PhD, disebutkan tentang Kant yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan termasuk ke dalam practical reason yaitu sesuatu yang tidak logis dan tidak perlu dibuktikan serta berada dalam dunia noumena yang unknown. Tuhan disini digunakan sebagai faktor pelengkap yang harus ada untuk menjadikan dunia yang memiliki keteraturan. Bisa dikatakan bahwa Tuhanlah otoritas yang menuntut agar kita bertindak seperti ini. Lalu bagaimana kita menyoroti pandangan-pandangan Immanuel Kant tentang etika dari sudut pandang iman kristiani? Setiap orang Kristen pasti tahu bahwa Tuhan bukanlah substansi yang tidak dapat diketahui. Tuhan adalah kasih dan karena kasihNya Dia rela untuk menebus dosa seluruh umat manusia dengan mati di atas kayu salib. Manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa, dan Tuhan memang tidak akan bisa dijelaskan oleh logika karena Dia adalah pemberi logika. Logika manusia sangat terbatas dan tidak akan pernah mampu menjelaskan bagaimana Tuhan itu sebenarnya.  
Sebelumnya kita telah membahas bahwa Kant memandang kebaikan adalah baik jika dilaksanakan atas dasar kewajiban. Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku (Bertens, 1993). Sepintas poin mengenai kewajiban ini terlihat benar jika kita mengacu pada Hukum Taurat yang menjadi suatu kewajiban setiap orang Israel. Namun kita juga perlu mengingat pada Tuhan Yesus, yang sudah menggenapi Hukum Taurat ini dalam hukum terutama yang tercatat dalam Matius 22 : 37-40 yaitu: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu serta kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Artinya, inti dari Hukum Taurat sendiri bukan terletak pada kewajiban melainkan kasih. Dengan demikian segala perbuatan kita harus didasari oleh kasih. Kebaikan bisa disebut baik bukan ketika didasari oleh kewajiban, melainkan oleh kasih. Galatia 5 : 22-23 menyebutkan tentang buah Roh yang adalah kasih. Di dalam Kasih tersebut terdapat sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Jadi kebaikan hanya merupakan satu bagian kecil yang ada atau muncul karena kita memiliki kasih. Secara kristiani berarti kebaikan bisa disebut baik jika didasarkan atas kasih sehingga pendapat Kant yang menyatakan bahwa baik didasarkan hanya atas kewajiban sangat tidak sesuai dengan iman kristen.
Satu contoh yang mungkin bisa kita temukan di masa ini adalah sosok Bunda Theresa. Setiap orang pasti tahu atau minimal pernah mendengar mengenai bagaimana beliau menunjukkan kasihnya pada sesama manusia terutama pada kaum marginal di Calcuta, India. Sebuah film yang berjudul Mother Theresa memberikan gambaran yang baik mengenai kehidupan dari beliau. Dia memberikan segala waktu dan tenaganya dan mencurahkan semuanya itu demi orang-orang yang tidak dikenalnya. Beliau mengajar anak-anak disana, mengobati orang-orang miskin yang mungkin bagi kita untuk menyentuhnya pun adalah sesuatu yang menjijikkan. Beliau juga membangun banyak rumah sakit untuk menyokong pengobatan dari orang-orang tersebut. Selama hidupnya beliau memperoleh banyak penghargaan dalam bidang kemanusiaan yang merupakan bukti bahwa banyak orang yang setuju bahwa Bunda Theresa memang seorang yang baik. Salah satu ucapan dari beliau yang dikutip dari http://www.goodreads.com: "I pray that you will understand the words of Jesus, “Love one another as I have loved you.” Ask yourself “How has he loved me? Do I really love others in the same way?” Unless this love is among us, we can kill ourselves with work and it will only be work, not love. Work without love is slavery." Perkataan Bunda Theresa merupakan suatu pernyataan bahwa dasar dari seluruh perbuatan dan tindakan yang ditunjukkan olehnya adalah karena kasih. Yesus telah terlebih dahulu mengasihi kita maka kita harus mengasihi orang lain. Jadi jika kita kembali kepada pernyataan Kant bahwa kebaikan disebut baik jika didasarkan pada kewajiban, apakah hal itu benar? Tentu saja tidak, karena baik yang sebenarnya hanya didasari oleh kasih, bukan kewajiban.

Referensi:                        
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, C. (2005). Filsafat dan Iman Kristen. (L. Suryana, & S. Subeno, Trans.) Surabaya: Penerbit Momentum.
Mother Theresa Quotes. (2010). Retrieved November 27, 2010, from goodreads.com: http://www.goodreads.com/author/quotes/838305.Mother_Teresa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar