Senin, 22 November 2010

Discussion Of God


IMMANUEL KANT PHILOSPHY & DISSCUSSION ABOUT GOD
Immanuel Kant (1724-1804) umumnya dikenal sebagai filsuf yang membawa perubahan revolusioner dalam bidang epistemologi dan etika, selain itu tema mengenai Tuhan juga masuk dalam daftar pemikiran filsuf ini. Pada akhirnya konsepsi mengenai Tuhan yang ditawarkan oleh Kant  mengalami perubahan yang sangat signifikan sejak Kant membaca buku filsafat karangan David Hume (C.brown, hal 127). Umumnya yang dimaksud dengan “filsafat Kant” adalah filsafat periode kritis. Periode ini ditandai dengan upayanya untuk membangun sebuah sistem filsafat di atas sebuah fondasi epistemologi kritis atau Kritisisme dan kemudian melihat semua problematika filosofis dari kaca mata epistemologi tersebut (Suseno,hal 138). Oleh karena itu, pemikiran Kant mengenai Tuhan dan agama (dan juga tema-tema lainnya) hanya dapat dipahami dengan baik dan tepat bila ditempatkan dalam konteks epistemologi kritis tersebut.
Sebelum berbicara secara spesifik mengenai bagaimana Filosofi Kant ini berbicara mengenai Tuhan, terlebih dahulu kita akan membahas teori epistemologis kritis yang merupakan dasar dari filosofi Kant. Epistemologi kristis merupakan penelitian atas kemampuan rasio dan batasannya sebelum rasio tersebut digunakan dalam proses pengetahuan. Dalam hal ini Kant mengatakan bahwa pengetahuan merupakan sintesis antara unsur aprori (hal-hal yang dimiliki sebelum mengalami penginderaan) dan aposteriori (hal-hal yang dimiliki setelah mengalami penginderaan)  (C.Brown, hal 129).  Segala sesuatu yang berada di dalam pikiran tanpa melalui pengalaman atau dengan kata lain sumbernya bukan berasal dari pengalaman tidak bisa disebut pengetahuan melainkan hanya sebagai ide atau imajinasi saja.
Menurut Kant, satu-satunya sumber pengetahuan yang pasti adalah pengalaman empiris meskipun pengalaman sendiri bukan merupakan pengetahuan. Kant melanjutkan bahwa setelah pengalaman dialami, ada beberapa kategori yang nantinya akan memperoses objek-objek empiris yang telah ditangkap melalui indera. Kategori ini merupakan kategori  transendental yang merupakan unsur apriori. Jadi Kant menganggap proses berpikir ini adalah proses kerja kategori transedental, Kant mengandaikan bahwa pikiran atau subyek dan obyek yang hendak diketahui adalah dua hal yang terpisah, dan pengetahuan berfungsi menjadi semacam jembatan yang menghubungkan pikiran dan obyek tersebut. Akan tetapi, karena kategori-kategori itu apriori dan berdasarkan spontanitas pikiran langsung bekerja setiap berhadapan dengan obyek apa saja, maka obyek yang kita tangkap melalui kategori-kategori tersebut, bukan lagi obyek sebagaimana pada dirinya sendiri, melainkan obyek yang telah “dimodifikasi” atau “dibentuk”  oleh kategori-kategori tersebut. Hal ini disebut sebagai categorical imperative oleh Kant (Suseno, hal 143).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa di dalam otak kita telah ada “ruang-ruang” yang merupakan kumpulan kategori informasi yang nantinya akan terisi secara tepat seiring bertambahnya pengalaman indera kita terhadap sesuatu.  Dengan demikian, kita tak pernah mampu mengetahui “benda menurut benda itu” sendiri, yang selalu kita ketahui adalah “benda menurut diriku (saya)”, dengan kata lain, benda yang kita lihat, kita ketahui berdasarkan pengertian kita sendiri. Kalimat yang nantinya digunakan untuk menjelaskan benda tersebut akan menggunakan kata “Menurut saya (I think)”.
Dengan melihat penjelasan singkat mengenai teori Kant, tentunya bisa disimpulkan bahwa segala pengetahuan bermula dari penginderaan yang nantinya dari penginderaan tersebut informasi akan dibawa ke pikiran (Otak) untuk diproses sampai menghasilkan pengetahuan. Pemikiran ini tertuang dalam Critique of Pure Reason menolak filsafat pendahulunya (Aristoteles) yang menyatakan bahwa hal-hal diluar jangkauan indera manusia masih dapat dinalar oleh manusia dan dengan demikian memberikan tempat bagi Tuhan secara nyata dalam konsep pemikiran manusia. Menurut Kant, Tuhan bukan merupakan objek yang dapat diinderai (Ex: dilihat) dan Tuhan tidak termasuk ke salah satu objek indera tersebut. Dengan demikian kita tidak bisa istilahnya menginderai Tuhan. Menurut teori Kant, tanpa penginderaan tentunya tidak ada pengetahuan dan dengan alasan itupun kita tentunya tidak akan pernah memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Sekalipun dalam agama-agama tertentu dipercaya bahwa Tuhan mewahyukan diri kepada manusia melalui fenomena-fenomena empiris yang kita sebut sebagi mujizat, menurut Kant, pikiran kita hanya mampu mengetahui mujizat tersebut karena kita bisa menginderanya, dan karena itu, menarik kesimpulan bahwa Tuhan menampakkan diri melalui fenomena itu, hal itu sudah diluar  kemampuan pikiran manusia. 
Akan tetapi, Kant tidak serta merta meniadakan Tuhan. Menurutnya, kalau pikiran tidak mampu mengetahui Tuhan, bukan berarti dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak ada; jadi baik penegasan positif (bahwa Tuhan ada) maupun penegasan negatif (bahwa Tuhan tidak ada), itu di luar kemampuan pikiran manusia. Kita tidak pernah dapat mengafirmasi atau menegasi keberadaan Tuhan. Perlu ditekankan bahwa Kant tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, melainkan bahwa kita tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak (Unknown).  Jadi dengan ini  Kant tidak hanya menolak teologi spekulatif (bahwa Tuhan ada) tapi juga ateisme spekulatif (bahwa Tuhan tidak ada). Dengan kata lain, secara teoritis, apakah Tuhan ada atau tidak, kita tidak pernah tahu; keberadaan Tuhan tidak pernah dapat diverifikasi atau difalsifikasi.
Hal ini memang membingungkan dan sulit untuk diterima: Kant meminta kita untuk tidak menalar Allah melalui indera kita, yang juga dengan kata lain memberi tanda "jalan buntu" bagi usaha manusia menalar Allah, namun di lain sisi seolah-olah memberitahu kita bahwa Allah sebenarnya ada dan kita dituntut untuk percaya saja bahwa Ia ada. Jika memang demikian maka kedua hal ini akan bertentangan: pikiran kita tidak bisa (menemui jalan buntu dalam) menalar Allah tetapi dengan keterbatasan pemikiran yang sama tersebut kita dituntut untuk percaya. Hal tersebut merupakan paradoks pemikiran yang bahkan kerumitannya tidak bisa diselesaikan oleh sang filsuf sendiri.
Alkitab sendiri telah mengatakan mengenai hal tersebut.dalam beberapa pasal dikatakan bahwa ada sesuatu yang memang tidak dapat kita lihat dan buktinya tidak dapat kita rasakan dengan indera kita dan untuk bias menerimanya kita membutuhkan iman. (band. Ibrani 11:1). Hal ini sekaligus menjadi jawaban dari ketidakmungkinan dan paradox Kant tentang Allah yang tidak diketahui tersebut. Pikiran manusia yang serba terbatas memang tidak dapat menelaah tentnag keberadaan Allah dan mengandalkan pengetahuan hanya membawa kita kepada jalan buntu seperti yang Kant alami. Sebaliknya, melalui iman, Allah yang menurut Kant itu tidak diketahui dapat kita kenal dapat kita percaya dan akui keberadaanNya.

Daftar Pustaka
Brown, Colin. (2005). Filsafat dan Iman Kristen. Surabaya: Momentum.
Magnis Suseno, Franz, Dr, SJ. (2007). Pustaka Filsafat 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad-19. Yogyakarta:Kanisius. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar