Senin, 22 November 2010

Immanuel Kant


Immanuel Kant adalah filsuf kelahiran Jerman, tepatnya di Königsberg, Perusia Timur  pada tahun 1724. Di dalam buku Filsafat dan Iman Kristen karya Colin Brown tercatat bahwa Immanuel Kant adalah anak seorang pembuat pelana dari dari keturunan bangsa Skotlandia dan mendapatkan pendidikan pietis.  Kant adalah mahasiswa di Universitas Königsberg, dan menjadi dosen tanpa bayaran pada tahun 1755. Pada tahun 1770 Kant terpilih menjadi profesor ilmu logika dan metafisika. Kant meninggal pada tahun 1804 di Königsberg.
Pada Tahun 1797 Kant mencetuskan sebuah sistem etika yang menempatkan akal sebagai otoritas fundamental dari moralitas. Setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan atau berdasarka pada hukum, politik, atau kebiasaan dapat dianggap sebagai moral. Struktur ini membela kebebasan dasar individu, yang masing-masing bertanggung jawab atas kemampuan mereka sendiri, melalui akal, sadar mematuhi hukum alam semesta.
Pemikiran Immanuel Kant mewakili puncak Rasionalisme dan Empirisme abad ke-18. Dalam hal lain pemikiran Kant bercorak modern yang unik (Brown, 1994). Meskipun pemikiran Kant mewakili pola pikir abad ke-18, namun cara berpikirnya yang skeptisisme juga memiliki pengaruh pada abad ke-19. Pemikiran Kant tercantum dalam bukunya yang berjudul Critique of Pure Reason yang dipublikasikan pada tahun 1781.Buku tersebut memuat tulisan Kant dimana dia telah berusaha memaparkan suatu pendekatan yang dicerahkan terhadap pengetahuan manusia (Brown, 1994).
Dalam kehidupannya Kant pernah di kecam oleh raja Prusia karena cara pandangnya menentang Kekristenan. Kecaman raja Prusia ini tercantum dalam karyanya yang berjudul Religion Within The Limits Of Reason Alone (1793). Kecaman raja Prusia ini memaksa Kant untuk mengeluarkan suatu pernyataan dwiarti yang menyatakan bahwa tujuannya bukanlah mempersalahkan melainkan menghargai Kekristenan, meskipun kalimat Kant ini merupakan pujian yang berisi sindirian (Brown, 1994).
Di dalam blog ini akan dibahas pemikiran Immanuel Kant mengenai theory of knowledge, concept of human nature, the purpose of life, discussion of God dan ethics yang akan dikritisi berdasarkan teologikal Kristen.  

Referensi 
Brown, C. (1994). Filsafat & Iman Kristen. (L. Suryana, & S. Subeno, Trans.) Surabaya: Penerbit Momentum.
Brown, C. (2005). Filsafat & Iman Kristen. Surabaya: Momentum.
Critique of Pure Reason. (n.d.). Retrieved November 29, 2010, from Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Critique_of_Pure_Reason
Immanuel Kant-Biography. (n.d.). Retrieved November 27, 2010, from The European Graduate School: http://www.egs.edu/library/immanuel-kant/biography/

Theory Of Knowledge


Teori Ilmu Pengetahuan

Dalam teori yang dikemukakannya, Kant mengarahkan kita kepada suatu pemikiran bahwa ilmu pengetahuan akan dibentuk melalui pengalaman, namun tidak semua pengetahuan itu muncul dari pengalaman. Misalnya saja dalam pengetahuan akan Allah. manusia tidak mengalami bentuk pengalaman hidup bersama tinggal serumah atau sekamar dengan Allah. Hal ini merupakan suatu pengetahuan yang muncul akibat kepercayaan dan pengaruh dari lingkungan. Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru.
Kant juga mengeluarkan pemikiran bahwa pernyataan universal yang kita keluarkan dan kita tahu betul bahwa hal itu benar, maka itu tidak didasarkan atas pengalaman. Misalnya saja mengenai penemuan bahwa bumi itu bulat. Sebenarnya sejak penciptaan, bumi sudah bulat, namun setelah ada manusia yang mengalami bahwa bumi itu bulat, barulah muncul pengetahuan bahwa bumi itu bulat. Hal itu berarti bahwa pengetahuan manusia bukanlah penentu dari segala sesuatunya. 
Selain itu, pemikiran yang dikemukakan oleh Kant selanjutnya ialah bahwa sains dan agama tidak boleh diukur dengan filsafat (Tafsir, 1999). Kedua hal tersebut merupakan hal yang berbeda dan tidak boleh untuk digabungkan. Apabila kedua hal tersebut digabungkan, maka ukuran kebenaran itu akan menjadi relatif dan itu berarti tidak ada suatu tolok ukur yang jelas mengenai sains dan agama. Oleh karena itulah agama harus diukur berdasarkan agama juga, bukan berdasarkan filsafat. Demikian pula halnya dengan sains. Baik agama maupun sains haruslah memiliki tolok ukur masing-masing agar tidak terjadi banyak kekacauan.
Kant juga memiliki pandangan bahwa objek-objek yang ada di dalam dunia inilah yang akan menyesuaikan dirinya dengan pemikiran manusia. Pemikiran Kant mengenai hal ini berangkat dari suatu pemahaman dirinya akan hakikat dari realitas atau yang biasa disebut dengan neumena, yaitu segala sesuatu tidak dapat diketahui hakikatnya, yang dapat diidentifikasi ialah gejalanya. Maksudnya ialah seberapa mampu suatu objek bisa saya lihat, maka apa yang saya lihat itu akan masuk ke dalam akal budi dan menjadi pengetahuan. Inilah yang disebut-sebut sebagai suatu “revolusi cara berpikir” dan dikenal menjadi filsafat “transendental”. Selain untuk mengkaji objek dunia eksternal, filsafat yang dikemukakan oleh Kant ini memiliki tujuan untuk mengungkapkan prinsip-prinsip a-priori sebagai hal yang fundamental dari epistemologi. Baginya, sains dan akal tak bisa menembus noumena, yaitu suatu tempat yang memiliki objek- objek keyakinan, Menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahiriah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.

Kant merupakan tokoh penentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme merupakan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Pada pemikiran Kant, metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi menyibak dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendaklah pertama-tama menyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Menurut Kan, dalam diri manusia ada tempat yang berperan penting dalam menghasilkan pengetahuan yaitu Sensibilitas, yang berperan dalam meneriman berbagai kesan Indrawi yang tertata di dalam ruang dan waktu dengan pengertian yang memiliki bagian (katagori) untuk mengatur dan menyatukan kesan- kesan yang ditangkap Indrawi manusia.  Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat a-priori, dan bukan pengalaman indra  (Djafri, 2010). Kedua paham ini ditentang oleh Kant  karena menurut pendapatnya mengenai kehidupan manusia, moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Perlu ada pertimbangan yang seharusnya lebih mudah diterima oleh logika atau akal pemikiran manusia.
Walaupun terdapat pertentangan dari dalam dirinya mengenai empirisme dan rasionalisme, Kant tetap berusaha untuk mensinergikan kedua hal tersebut. Ia menggabungkan ide yang ada dalam paham-paham tersebut menjadi sebuah pemikiran yang bermanfaat. Ia menggabungkan prinsip mengenai sumber dari munculnya ilmu pengetahuan ialah karena adanya pengalaman inderawi dari paham empirisme dengan suatu pemikiran bahwa pengetahuan itu muncul sebelum adanya pengalaman sebelumnya, misalnya saja dengan insting mengenai bahaya.
Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu, tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan pada sebuah pengadilan. Pada pemikiran Kant, metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi menyinggung dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada. Metafisika hendaklah pertama-tama menyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Munculnya pemikiran Kant ini, telah merubah banyak dari metafisika yang sebelumnya sudah ada.
Bermodalkan kritisismenya, Kant membangun metafisika yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah. Ia menjadikan strukturpola pikir manusia sebagai titik tolaknya.  Dalam metafisika, Kant setidaknya mencerminkan dua masalah pokok, pertama tentang hakikat Tuhan dan kedua persoalan cara pembuktian adanya Tuhan yang berarti bahwa hakikat Tuhan adalah Ideal Transendental, sedang cara pembuktian adanya Tuhan, adalah melalui dua argumen, yaitu argumen pemikiran dan argumen moral. Argumen pemikiran memungkinkan dan membenarkan lahirnya pengetahuan dan argumen moral memungkinkan dan membenarkan lahirnya perbuatan susila. Namun pada umumnya argumen terakhirlah yang diidentifikasikan kapada Kant.
Kant memberikan suatu konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system) manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant, empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri.
Pada pelaksanaanya sangatlah sulit dalam memahami apa yang telah dikemukakan oleh Immanuel Kant. Pengaruh secara langsung dari Kant dalam ilmu pendidikan pun tidaklah sedikit. Misalnya saja, sebagai seorang guru, nantinya diperlukan suatu pemikiran yang terbuka mengenai siswa yang memiliki pemikiran yang berasal dari berbagai macam sumber atau hanya dari perkiraan yang ia miliki. Pengetahuan awal sebelum pembelajaran dimulai di dalam kelas pun menjadi suatu pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan.



Referensi
Aprillins.com. (2009). Tiga Pokok Pemikiran. Retrieved November 26, 2010 from http://aprillins.com/2009/1041/tiga-pokok-pemikiran-immanuel-kant/

Djafri, N. (2010). Immanuel Kant. Retrieved November 25, 2010) from http://noviantydjafri.wordpress.com/2010/08/20/immanuel-kant-2/

Frame, J. M. (2008). The Doctrine of The Christian Life. New Jersey: P&R Publishing Company



Ethics


KONSEP IMMANUEL KANT TENTANG ETIKA

Immanuel Kant memiliki konsep etika yang bisa dimasukkan ke dalam ranah deontologi. Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain kewajiban. Kita bisa mengatakan juga bahwa sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik (Bertens, 1993). Contohnya adalah kepandaian, kekayaan, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, tidak akan menjadi baik jika tidak digunakan dengan kehendak yang baik dari manusia. Jika seseorang memiliki kehendak untuk menggunakan kekayaan dan kepandaian sebagai alat dalam memanfaatkan orang lain demi keuntungannya sendiri, hal-hal tersebut tentu saja akan menjadi sesuatu yang sangat buruk.
Pertanyaan pertama yang timbul sekarang adalah: “Apa yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban (Bertens, 1993, hal. 255). Namun jika kita kembali meninjau akan hal ini, adakah hanya kewajiban semata-mata yang pada dasarnya membuat kehendak menjadi baik? Banyak orang yang berbuat kebaikan karena memang memiliki sifat yang baik hati. Dengan demikian, menurut Kant kebaikan dari orang tersebut tidak bisa disebut baik. Kemudian ada lagi tipe orang yang berbuat baik karena rasa belas kasihan. Kita bisa ambil contoh dari seseorang yang merasa kasihan dan memberikan uang kepada seorang anak kecil yang harus mengamen demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Perbuatan yang demikian pun menurut Kant tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang baik.
Kant membuat suatu perbedaan antara apa yang dia sebut imperatif hipotetis dan kategoris (Brown, 2005). Secara sederhana, menurut Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika (1993, hal.256), kewajiban moral mengandung suatu perintah imperatif kategoris, artinya, imperatif (perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Contohnya untuk imperatif hipotetis: jika kita ingin menikah maka kita harus pemberkatan nikah terlebih dahulu. Pemberkatan nikah hanya menjadi kewajiban saat kita ingin mencapai tujuan kita yaitu menikah. Namun jika kita tidak menghendaki tujuan tersebut, maka kita juga tidak perlu melaksanakan syarat untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan imperatif kategoris, yang tidak menghendaki adanya syarat, akan berarti bahwa kita harus melakukan hal tersebut karena merupakan sebuah kewajiban saja, tidak lebih dan tidak kurang. Misalnya jika ada ada seorang penagih hutang datang ke rumah dan mencari orangtua kita. Kemudian karena tidak memiliki uang, orangtua menyuruh kita mengatakan kepada penagih hutang tersebut bahwa orangtua sedang tidak di rumah kita. Menurut Kant, kita tetap harus mengatakan bahwa orangtua memang ada di rumah karena merupakan kewajiban bagi kita untuk mengatakan hal yang sebenarnya dengan konsekuensi apapun. Itulah yang dimaksud dengan imperatif kategoris.
Menurut Brown (2005), imperatif juga menimbulkan pertanyaan, otoritas macam apa yang ada di atas dan melampaui saya dan yang menuntut saya agar bertindak seperti ini? Dengan kata lain kita berhadapan dengan yang transenden. Dalam materi kuliah Theological Philosophy dengan dosen Ferry Yang, PhD, disebutkan tentang Kant yang menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan termasuk ke dalam practical reason yaitu sesuatu yang tidak logis dan tidak perlu dibuktikan serta berada dalam dunia noumena yang unknown. Tuhan disini digunakan sebagai faktor pelengkap yang harus ada untuk menjadikan dunia yang memiliki keteraturan. Bisa dikatakan bahwa Tuhanlah otoritas yang menuntut agar kita bertindak seperti ini. Lalu bagaimana kita menyoroti pandangan-pandangan Immanuel Kant tentang etika dari sudut pandang iman kristiani? Setiap orang Kristen pasti tahu bahwa Tuhan bukanlah substansi yang tidak dapat diketahui. Tuhan adalah kasih dan karena kasihNya Dia rela untuk menebus dosa seluruh umat manusia dengan mati di atas kayu salib. Manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa, dan Tuhan memang tidak akan bisa dijelaskan oleh logika karena Dia adalah pemberi logika. Logika manusia sangat terbatas dan tidak akan pernah mampu menjelaskan bagaimana Tuhan itu sebenarnya.  
Sebelumnya kita telah membahas bahwa Kant memandang kebaikan adalah baik jika dilaksanakan atas dasar kewajiban. Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku (Bertens, 1993). Sepintas poin mengenai kewajiban ini terlihat benar jika kita mengacu pada Hukum Taurat yang menjadi suatu kewajiban setiap orang Israel. Namun kita juga perlu mengingat pada Tuhan Yesus, yang sudah menggenapi Hukum Taurat ini dalam hukum terutama yang tercatat dalam Matius 22 : 37-40 yaitu: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu serta kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Artinya, inti dari Hukum Taurat sendiri bukan terletak pada kewajiban melainkan kasih. Dengan demikian segala perbuatan kita harus didasari oleh kasih. Kebaikan bisa disebut baik bukan ketika didasari oleh kewajiban, melainkan oleh kasih. Galatia 5 : 22-23 menyebutkan tentang buah Roh yang adalah kasih. Di dalam Kasih tersebut terdapat sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Jadi kebaikan hanya merupakan satu bagian kecil yang ada atau muncul karena kita memiliki kasih. Secara kristiani berarti kebaikan bisa disebut baik jika didasarkan atas kasih sehingga pendapat Kant yang menyatakan bahwa baik didasarkan hanya atas kewajiban sangat tidak sesuai dengan iman kristen.
Satu contoh yang mungkin bisa kita temukan di masa ini adalah sosok Bunda Theresa. Setiap orang pasti tahu atau minimal pernah mendengar mengenai bagaimana beliau menunjukkan kasihnya pada sesama manusia terutama pada kaum marginal di Calcuta, India. Sebuah film yang berjudul Mother Theresa memberikan gambaran yang baik mengenai kehidupan dari beliau. Dia memberikan segala waktu dan tenaganya dan mencurahkan semuanya itu demi orang-orang yang tidak dikenalnya. Beliau mengajar anak-anak disana, mengobati orang-orang miskin yang mungkin bagi kita untuk menyentuhnya pun adalah sesuatu yang menjijikkan. Beliau juga membangun banyak rumah sakit untuk menyokong pengobatan dari orang-orang tersebut. Selama hidupnya beliau memperoleh banyak penghargaan dalam bidang kemanusiaan yang merupakan bukti bahwa banyak orang yang setuju bahwa Bunda Theresa memang seorang yang baik. Salah satu ucapan dari beliau yang dikutip dari http://www.goodreads.com: "I pray that you will understand the words of Jesus, “Love one another as I have loved you.” Ask yourself “How has he loved me? Do I really love others in the same way?” Unless this love is among us, we can kill ourselves with work and it will only be work, not love. Work without love is slavery." Perkataan Bunda Theresa merupakan suatu pernyataan bahwa dasar dari seluruh perbuatan dan tindakan yang ditunjukkan olehnya adalah karena kasih. Yesus telah terlebih dahulu mengasihi kita maka kita harus mengasihi orang lain. Jadi jika kita kembali kepada pernyataan Kant bahwa kebaikan disebut baik jika didasarkan pada kewajiban, apakah hal itu benar? Tentu saja tidak, karena baik yang sebenarnya hanya didasari oleh kasih, bukan kewajiban.

Referensi:                        
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, C. (2005). Filsafat dan Iman Kristen. (L. Suryana, & S. Subeno, Trans.) Surabaya: Penerbit Momentum.
Mother Theresa Quotes. (2010). Retrieved November 27, 2010, from goodreads.com: http://www.goodreads.com/author/quotes/838305.Mother_Teresa

Discussion Of God


IMMANUEL KANT PHILOSPHY & DISSCUSSION ABOUT GOD
Immanuel Kant (1724-1804) umumnya dikenal sebagai filsuf yang membawa perubahan revolusioner dalam bidang epistemologi dan etika, selain itu tema mengenai Tuhan juga masuk dalam daftar pemikiran filsuf ini. Pada akhirnya konsepsi mengenai Tuhan yang ditawarkan oleh Kant  mengalami perubahan yang sangat signifikan sejak Kant membaca buku filsafat karangan David Hume (C.brown, hal 127). Umumnya yang dimaksud dengan “filsafat Kant” adalah filsafat periode kritis. Periode ini ditandai dengan upayanya untuk membangun sebuah sistem filsafat di atas sebuah fondasi epistemologi kritis atau Kritisisme dan kemudian melihat semua problematika filosofis dari kaca mata epistemologi tersebut (Suseno,hal 138). Oleh karena itu, pemikiran Kant mengenai Tuhan dan agama (dan juga tema-tema lainnya) hanya dapat dipahami dengan baik dan tepat bila ditempatkan dalam konteks epistemologi kritis tersebut.
Sebelum berbicara secara spesifik mengenai bagaimana Filosofi Kant ini berbicara mengenai Tuhan, terlebih dahulu kita akan membahas teori epistemologis kritis yang merupakan dasar dari filosofi Kant. Epistemologi kristis merupakan penelitian atas kemampuan rasio dan batasannya sebelum rasio tersebut digunakan dalam proses pengetahuan. Dalam hal ini Kant mengatakan bahwa pengetahuan merupakan sintesis antara unsur aprori (hal-hal yang dimiliki sebelum mengalami penginderaan) dan aposteriori (hal-hal yang dimiliki setelah mengalami penginderaan)  (C.Brown, hal 129).  Segala sesuatu yang berada di dalam pikiran tanpa melalui pengalaman atau dengan kata lain sumbernya bukan berasal dari pengalaman tidak bisa disebut pengetahuan melainkan hanya sebagai ide atau imajinasi saja.
Menurut Kant, satu-satunya sumber pengetahuan yang pasti adalah pengalaman empiris meskipun pengalaman sendiri bukan merupakan pengetahuan. Kant melanjutkan bahwa setelah pengalaman dialami, ada beberapa kategori yang nantinya akan memperoses objek-objek empiris yang telah ditangkap melalui indera. Kategori ini merupakan kategori  transendental yang merupakan unsur apriori. Jadi Kant menganggap proses berpikir ini adalah proses kerja kategori transedental, Kant mengandaikan bahwa pikiran atau subyek dan obyek yang hendak diketahui adalah dua hal yang terpisah, dan pengetahuan berfungsi menjadi semacam jembatan yang menghubungkan pikiran dan obyek tersebut. Akan tetapi, karena kategori-kategori itu apriori dan berdasarkan spontanitas pikiran langsung bekerja setiap berhadapan dengan obyek apa saja, maka obyek yang kita tangkap melalui kategori-kategori tersebut, bukan lagi obyek sebagaimana pada dirinya sendiri, melainkan obyek yang telah “dimodifikasi” atau “dibentuk”  oleh kategori-kategori tersebut. Hal ini disebut sebagai categorical imperative oleh Kant (Suseno, hal 143).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa di dalam otak kita telah ada “ruang-ruang” yang merupakan kumpulan kategori informasi yang nantinya akan terisi secara tepat seiring bertambahnya pengalaman indera kita terhadap sesuatu.  Dengan demikian, kita tak pernah mampu mengetahui “benda menurut benda itu” sendiri, yang selalu kita ketahui adalah “benda menurut diriku (saya)”, dengan kata lain, benda yang kita lihat, kita ketahui berdasarkan pengertian kita sendiri. Kalimat yang nantinya digunakan untuk menjelaskan benda tersebut akan menggunakan kata “Menurut saya (I think)”.
Dengan melihat penjelasan singkat mengenai teori Kant, tentunya bisa disimpulkan bahwa segala pengetahuan bermula dari penginderaan yang nantinya dari penginderaan tersebut informasi akan dibawa ke pikiran (Otak) untuk diproses sampai menghasilkan pengetahuan. Pemikiran ini tertuang dalam Critique of Pure Reason menolak filsafat pendahulunya (Aristoteles) yang menyatakan bahwa hal-hal diluar jangkauan indera manusia masih dapat dinalar oleh manusia dan dengan demikian memberikan tempat bagi Tuhan secara nyata dalam konsep pemikiran manusia. Menurut Kant, Tuhan bukan merupakan objek yang dapat diinderai (Ex: dilihat) dan Tuhan tidak termasuk ke salah satu objek indera tersebut. Dengan demikian kita tidak bisa istilahnya menginderai Tuhan. Menurut teori Kant, tanpa penginderaan tentunya tidak ada pengetahuan dan dengan alasan itupun kita tentunya tidak akan pernah memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Sekalipun dalam agama-agama tertentu dipercaya bahwa Tuhan mewahyukan diri kepada manusia melalui fenomena-fenomena empiris yang kita sebut sebagi mujizat, menurut Kant, pikiran kita hanya mampu mengetahui mujizat tersebut karena kita bisa menginderanya, dan karena itu, menarik kesimpulan bahwa Tuhan menampakkan diri melalui fenomena itu, hal itu sudah diluar  kemampuan pikiran manusia. 
Akan tetapi, Kant tidak serta merta meniadakan Tuhan. Menurutnya, kalau pikiran tidak mampu mengetahui Tuhan, bukan berarti dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak ada; jadi baik penegasan positif (bahwa Tuhan ada) maupun penegasan negatif (bahwa Tuhan tidak ada), itu di luar kemampuan pikiran manusia. Kita tidak pernah dapat mengafirmasi atau menegasi keberadaan Tuhan. Perlu ditekankan bahwa Kant tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, melainkan bahwa kita tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak (Unknown).  Jadi dengan ini  Kant tidak hanya menolak teologi spekulatif (bahwa Tuhan ada) tapi juga ateisme spekulatif (bahwa Tuhan tidak ada). Dengan kata lain, secara teoritis, apakah Tuhan ada atau tidak, kita tidak pernah tahu; keberadaan Tuhan tidak pernah dapat diverifikasi atau difalsifikasi.
Hal ini memang membingungkan dan sulit untuk diterima: Kant meminta kita untuk tidak menalar Allah melalui indera kita, yang juga dengan kata lain memberi tanda "jalan buntu" bagi usaha manusia menalar Allah, namun di lain sisi seolah-olah memberitahu kita bahwa Allah sebenarnya ada dan kita dituntut untuk percaya saja bahwa Ia ada. Jika memang demikian maka kedua hal ini akan bertentangan: pikiran kita tidak bisa (menemui jalan buntu dalam) menalar Allah tetapi dengan keterbatasan pemikiran yang sama tersebut kita dituntut untuk percaya. Hal tersebut merupakan paradoks pemikiran yang bahkan kerumitannya tidak bisa diselesaikan oleh sang filsuf sendiri.
Alkitab sendiri telah mengatakan mengenai hal tersebut.dalam beberapa pasal dikatakan bahwa ada sesuatu yang memang tidak dapat kita lihat dan buktinya tidak dapat kita rasakan dengan indera kita dan untuk bias menerimanya kita membutuhkan iman. (band. Ibrani 11:1). Hal ini sekaligus menjadi jawaban dari ketidakmungkinan dan paradox Kant tentang Allah yang tidak diketahui tersebut. Pikiran manusia yang serba terbatas memang tidak dapat menelaah tentnag keberadaan Allah dan mengandalkan pengetahuan hanya membawa kita kepada jalan buntu seperti yang Kant alami. Sebaliknya, melalui iman, Allah yang menurut Kant itu tidak diketahui dapat kita kenal dapat kita percaya dan akui keberadaanNya.

Daftar Pustaka
Brown, Colin. (2005). Filsafat dan Iman Kristen. Surabaya: Momentum.
Magnis Suseno, Franz, Dr, SJ. (2007). Pustaka Filsafat 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad-19. Yogyakarta:Kanisius. 

The Purpose Of Life


Ketika kita melihat semua hal dan benda yang ada di dunia ini, di sekitar kita seperti kursi, ada satu essensi yang terkandung dalam kursi tersebut. Essensinya adalah manfaat dari kursi tersebut yaitu untuk tempat duduk. Sang creator dari kursi tersebut tidak akan membuat meja jika ia ingin membuat sesuatu untuk tempat duduk. Hal ini memberikan gambaran umum bagi kita bahwa semua hal atau benda diciptakan untuk satu tujuan tertentu. Begitu juga dengan kita manusia  yang diciptakan Allah. Banyak orang yang sibuk mengejar karir, harta, dan kesuksesan dalam hidupnya karena mereka menganggap bahwa itulah tujuan hidup mereka. Mereka diciptakan hanya untuk bekerja sepanjang waktu mengejar pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri sendiri. Banyak juga yang hidupnya hanya untuk seks, narkoba, dan mabuk-mabukan, dan mereka bilang dengan gampangnya hidup itu harus happy. Apakah semuanya hanya unutk itu? Apakah sebenarnya yang menjadi tujuan hidup kita sebagai ciptaan-Nya ?
The Purpose of Life menurut Imanuel Kant
Menurut Kant tujuan hidup kita bukanlah untuk mencapai kebahagiaan, jika tujuan hidup hanya untuk mencapai kebahagiaan, maka kita semua akan mencari kesenangan dan kepuasaan dan berharap semua itu akan menjadi kebahagiaan. Manusia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan karena kesenangan dan kepuasaan manusia tidak ada habisnya. Alasannya adalah karena manusia ketika mendapatkan sesuatu yang lebih akan mencari yang lebih lagi. Selain itu indikator kebahagiaan itu juga tidak jelas, seperti apakah kondisi bahagia, apa patokannya, dan juga kondisi bahagia antara orang yang satu dengan yang lain pasti berbeda. Menurut Kant kita mempunyai keharusan untuk mencapai suatu kodisi yang disebut kehendak yang baik atau a good will dalam diri kita, itulah tujuan hidup kita. Semua hal akan menjadi baik bila dikendalikan oleh kehendak yang baik, tapi jika jika dikendalikan oleh kehendak yang jahat semua hal itu juga akan menjadi jahat. Jadi tujuan hidup kita adalah mengontrol mengembangkan diri kita agar memiliki kehendak yang baik.
Kehendak manusia dalam bertindak bukan untuk alasan diri sendiri, tatkala manusia akan bertindak ia mesti memiliki alasan terhadap tindakan itu. Kehendak akan menjadi baik, bila seseorang bertindak karena kewajiban. Jika bertindak karena maksud lain-bukan karena kewajiban-sesuatu tersebut menjadi tidak baik, perbuatan dianggap baik bila hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut, oleh Kant disebut legalitas.
Kehendak bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant, kehendak itu otonom dengan memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri. Hal itu tentu tidak boleh dimengerti tentang manusia perorangan, seolah-olah setiap manusia membuat hukum moral sendiri-sendiri. Yang dimaksudkan Kant dengan otonomi manusia secara umum membuat hukum moral dan menaklukkan diri kepadanya, adalah dengan hidup menurut hukum moral, manusia tidak menyerahkan diri kepada sesuatu yang asing baginya (heteronom), melainkan mengikuti hukumnya sendiri, manusia tidak menaklukkan diri kepada instansi lain, melainkan hanya kepada hukumnya sendiri, yaitu hukum/norma yang dibuat manusia. Kant berpendapat dengan menemukan otonomi kehendak serentak juga menemukan kebebasan manusia. Otonomi kehendak pada dasarnya sama dengan kebebasan manusia, sebab kebebasan adalah kesanggupan untuk bertindak terlepas dari penguasaan oleh sebab-sebab asing. Manusia itu bebas, karena mengikat dirinya sendiri dengan hukum moral. Menurut Kant, kebebasan tidak berarti bebas dari segala ikatan, manusia itu bebas dengan mentaati hukum moralnya. Berarti secara tidak langsung kant juga berpikir bahwa kehendak yang baik adalah untuk menemukan kebebasan manusia untuk mengatur dirinya sendiri.
Analisa
Pendapat Kant ada benarnya sebagai karena sebagai imago dei kita memang harus memiliki kehendak yang baik seperti Kristus sendiri (become like a Christ). Kita harus mengasihi sesama, berdoa bagi musuh kita semua itu adalah kehendak yang baik. Tetapi jika dianalisa lebih dalam lagi, kehendak baik itu hanya terfokus dan bertujuan untuk manusia sendiri. Kant berpendapat bahwa kehendak manusia bersifat otonom, hanya mengikatkan diri pada hukum/atau norma yang lain atau kehendak yang bersifat heteronom, diatur oleh faktor di luar manusia. Dapat dikatakan bahwa hal itu adalah human-centered, manusia menjadi terpusat dan berpikir akan kehendaknya sendiri. Manusia ingin mengatur dirinya sendiri sebebas mungkin, hal ini akan sangat fatal jika manusia tidak dapat mengontrol kehendaknya sendiri. Karena semua bergantung pada sendiri baik atau buruknya suatu kehendak diri juga dapat menjadi subjektif.
Dari segi Kristiani itu tidaklah benar, Alkitab menulis dalam Kolose 1:18 “....Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”. Nas tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kita diciptakan untuk Allah. Di dalam Wahyu 4:11 disebutkan bahwa kita dirancangkan untuk menyenangkan Tuhan. Hidup manusia bertujuan untuk kemuliaan Allah. Dalam Kejadian 1 kita juga diberikan mandat penciptaan dan mandat budaya oleh Allah, hal ini jelas menunjukkan bahwa manusia harus tunduk di bawah hukum dan kehendak Allah bukan kehendak-Nya sendiri.
Hidup kita bukanlah secara human-centered, hidup kita yang seharusnya adalah God-centered.

ReferensiBertens, K.(1994). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Warren, R.(2004). The Purpose Driven Life. Malang: Penerbit Gandum Mas.

Concept Of Human Nature


Immanuel Kant dan “Nature of Man”
            Berbicara mengenai “Nature of Man” atau Natur Manusia akan sangat dekat dengan pembicaraan mengenai moral dan etika. Hal ini dikarenakan oleh setiap perilaku manusia yang notabene merupakan pancaran dari natur manusia selalu memiliki hubungan dengan moral dan etika yang berlaku di masyarakat.
            Dalam pemahaman orang Kristen, manusia memiliki natur dosa sehingga dalam kehidupan manusia di dunia tidak lepas dari dosa atau cenderung berdosa. Contoh konkretnya, seorang laki-laki akan cenderung berpikir hal yang “tidak baik” ketika dia melihat seorang perempuan yang menarik berdasarkan pemikiran dia. Ketika dia memiliki pikiran yang “tidak baik” itu, dia sudah melakukan dosa. Dari sini, kita bisa melihat bahwa apa yang dilakukan individu laki-laki diatas merupakan hasil dari natur keberdosaannya sebagai manusia, yang secara moral dan etika juga merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima atau tidak baik.
            Ada beberapa pernyataan atau “quotes” dari Immanuel Kant mengenai natur manusia atau “Nature of Man”. Dalam essay ini, penulis menuliskan dan mengkritisi beberapa pernyataan atau “quotes” dari Immanuel Kant yang berhubungan dengan natur manusia berdasarkan sudut pandang teologi Kristen. Berikut penjelasan dan kritiknya jika dilihat dari sudut pandang teologi Kristen:
1.      Immanuel Kant : Humans are not animal because we conceptualize everything we smell, taste, touch, feel, and see. We are the judges of the beauty of the universe (http://www.facebook.com/pages/Immanuel-Kant/112550538756134?sk=wall).
            Manusia menurut Immanuel Kant berbeda dengan binatang. Karena, manusia mengkonsepkan atau menginterpretasikan segala hal berdasarkan bau (penciuman), rasa (pengecap), sentuhan (peraba), dengar (pendengaran), lihat (penglihatan), dan perasaan(feel). Jadi, penulis menarik kesimpulan berdasarkan analisa pernyataan Immanuel Kant bahwa yang membedakan manusia dengan hewan terletak pada kepunyaan manusia akan perasaan atau hati nurani.
            Manusia memiliki hati nurani yang digunakan untuk membedakan mana yang baik dan yang tidak baik menurutnya. Contohnya, dengan hati nurani manusia bisa memilih untuk tidak membunuh karena menurutnya itu tidak baik. Manusia juga memiliki akal budi yang membedakannya dengan hewan yang hanya memiliki insting.
            Jika dilihat dari sudut pandang teologi Kristen, manusia diciptakan Allah berdasarkan gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27). Jika manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, berarti manusia sempurna (sebelum jatuh dalam dosa) dan memiliki kedudukan yang paling tinggi diatas ciptaan yang lain termasuk binatang. Hal ini juga didukung dengan perintah Allah terhadap manusia untuk berkuasa atas semua ciptaan yang lain (Kejadian 1:28).
            Alkitab juga menuliskan perbedaan yang signifikan antara manusia dan hewan pada proses penciptaan. Binatang diciptakan Allah hanya melalui Firman, sedangkan manusia diciptakan melalui debu tanah yang dihembusakan nafas hidup kedalam hidungnya oleh Allah (Kejadian 2:7). Berhubungan dengan hati nurani, manusia diciptakan Allah dengan adanya kehendak bebas atau “free will”. Dalam menggunakan kehendak bebasnya, manusia melibatkan perasaan yang ada dalam hati nuraninya dan pemikiran yang berdasarkan akal budinya, untuk menanggapi dan melakukan sesuatu, berbeda dengan binatang yang hanya memiliki insting dan  tidak memiliki “free will”.
2.      Immanuel Kant : By a lie, a man... annihilates his dignity as a man.
            Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan Immanuel Kant diatas, tindakan berbohong seorang manusia akan menghancurkan martabatnya sebagai seorang manusia. Jadi, sekali manusia melakukan kebohongan, martabatnya sebagai manusia jatuh. Mengapa saat melakukan kebohongan martabat manusia jatuh atau hancur? Menurut penulis, hal ini karena tindakan berbohong ini erat kaitannya dengan moral dan etika yang berlaku di masyarakat. Perilaku berdusta merupakan perilaku yang tidak baik dan tidak diterima sebagai perilaku yang mencerminkan manusia yang memiliki moral dan beretika (martabat).
            Dilihat dari sisi teologi Kristen, Allah dalam 10 Hukum Allah memerintahkan kepada umatnya untuk tidak mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Hukum ini dengan kata lain mengharuskan kita untuk tidak berbohong. Disaat kita berbohong, kita melanggar hukum Allah, dan secara otomatis kita telah melakukan dosa. Pada saat manusia jatuh dalam dosa, gambar dan rupa Allah yang ada dalam diri manusia rusak. Hal ini memiliki hubungan dengan pernyataan Immanuel Kant, sehingga menurut penulis  jika dilihat dari sudut pandang teologi, pernyataan Immanuel Kant diatas tidak bertentangan dengan prinsip Alkitabiah.
3.      Imanuel Kant: In law a man is guilty when he violates the rights of others. In ethics he is guilty if he only thinks of doing so.
            Menurut pernyataan diatas, Immanuel ingin menyatakan bahwa dalam hukum, manusia merasa  bersalah ketika manusia melanggar atau mengganggu hak orang lain, sedangkan dalam etika, manusia merasa bersalah ketika dia hanya berpikir untuk menganggu hak orang lain. . Dalam hal tersebut Immanuel Kant ingin mengatakan bahwa dalam ranah hukum, manusia hanya akan merasa bersalah jika dia telah melakukan sesuatu yang tidak baik yang dalam hal ini mengganggu atau melanggar hak dari orang lain. Tetapi, dalam ranah etika, manusia akan dan telah merasa bersalah ketika dia memikirkan untuk melakukan sesuatu yang tidak baik yang dalam hal ini mengganggu atau melanggar hak orang lain. Jadi, perbedaanya ada pada level dimana rasa bersalah manusia itu berada.
            Jika kita melihat dari sudut pandang teologi Kristen, hal ini lagi-lagi berhubungan dengan natur keberdosaan manusia dan rasa bersalah manusia atas dosa yang telah dia lakukan. Jika kita melihat ke Alkitab, pernyataan Immanuel Kant memiliki hubungan yang erat dengan Matius 5:28. Dalam ayat Alkitab ini, dikatakan bahwa ketika kita hanya mengingini atau memikirkan saja seorang perempuan saja, kita sudah berzinah, yang berarti kita sudah berdosa. Dalam level ini, kita bisa menghubungkannya dengan rasa bersalah manusia ketika dia memikirkan untuk melanggar hak orang lain (ranah etika). Kenapa ini berhubungan? Menurut penulis, jika manusia merasa bersalah dengan hal tidak baik yang dilakukannya, maka secara otomatis dia telah menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah dosa dan tidak berkenan di hadapan Allah. Tapi, Alkitab tidak membeda-bedakan ranah atau level manusia merasa bersalah akan apa yang dilakukannya atau level dimana manusia berdosa, melainkan Alkitab memberi dasar dengan menyatakan bahwa ketika kita berpikir atau memiliki keinginan saja, kita sudah berdosa apalagi jika kita melakukannya. Jadi, dalam hal ini pernyataan Immanuel Kant cukup memiliki hubungan dengan Alkitab atau teologi Kristen, tapi Alkitab memberikan arti yang benar.
            Kesimpulannya, terlepas dari motivasi Kant sendiri, pernyataan-pernyataan mengenai natur manusia Kant, memiliki hubungan dengan konsep natur manusia berdasarkan konsep teologi Kristen/ Alkitabiah.  

Referensi

(n.d.). Retrieved November 29, 2010, from www.facebook.com: http://www.facebook.com/pages/Immanuel-Kant/112550538756134?sk=wall
(n.d.). Retrieved November 29, 2010, from /www.brainyquote.com: http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/i/immanuelka152147.html
(n.d.). Retrieved November 29, 2010, from /www.brainyquote.com: (http://www.brainyquote.com/quotes/authors/i/immanuel_kant.html)